ANAMBAS – Selama tiga hari terakhir, warga di Kabupaten Kepulauan Anambas kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite. Kelangkaan ini berdampak besar pada aktivitas masyarakat, terutama bagi para nelayan dan pengguna kendaraan bermotor.
Masalah tersebut muncul setelah 20 proposal pembentukan sub penyalur BBM subsidi yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas ditolak oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Penolakan itu menyebabkan warga kini hanya bisa membeli Pertalite di Toko Enggan, penyalur resmi yang berlokasi di Tarempa.
Kepala Bagian Perekonomian dan SDA Kabupaten Kepulauan Anambas, Yohanes, mengatakan, pengajuan proposal tersebut telah disertai surat resmi dari Bupati. Namun, berdasarkan surat balasan yang diterima pada 30 September 2025, seluruh pengajuan ditolak karena tidak memenuhi ketentuan jarak minimal antarpenyalur.
“BPH Migas menolak semua usulan dari empat kecamatan, yaitu Siantan, Palmatak, Kute Siantan, dan Siantan Utara, dengan alasan jaraknya terlalu dekat. Padahal kondisi geografis kita ini berbeda jauh dari wilayah daratan,” ujar Yohanes, Senin (13/10).
Peraturan yang menjadi dasar penolakan merujuk pada Peraturan Kepala BPH Migas Nomor 21 Tahun 2024, yang menetapkan jarak minimal 10 kilometer antara penyalur dan sub penyalur BBM subsidi.
“Kalau di Tarempa, permukiman warga saling berdekatan dan berada di sepanjang garis pantai. Sulit mencari jarak sejauh 10 kilometer. Kondisi geografis kepulauan tidak bisa disamakan dengan daratan,” jelasnya.
Penolakan tersebut menimbulkan keluhan di kalangan masyarakat. Banyak warga dan nelayan terpaksa menempuh jarak jauh ke Tarempa hanya untuk mendapatkan beberapa liter Pertalite.
Pemerintah daerah pun telah menyampaikan surat keberatan kepada BPH Migas dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, agar aturan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi kepulauan. Namun, hingga kini belum ada keputusan baru yang menguntungkan masyarakat.
Masalah semakin rumit setelah diterbitkannya Peraturan BPH Migas Nomor 1 Tahun 2025, yang memperbolehkan sub penyalur lama tetap beroperasi hingga 30 September 2025. Sayangnya, Anambas tidak memiliki sub penyalur lama yang terdaftar, sehingga aturan itu tidak dapat diterapkan di wilayah tersebut.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Pertamina, tetapi hasilnya masih sama. Aneh saja, karena daerah lain seperti Lingga justru mendapatkan izin walau kondisinya serupa. Kami merasa ada perlakuan yang kurang adil,” ucap Yohanes kecewa.
Selain persoalan regulasi, kendala teknis juga memperparah situasi. Distribusi BBM melalui jalur laut dinilai berisiko tinggi dan tidak efisien karena keterbatasan armada pengangkut.
Yohanes berharap pemerintah pusat dapat memberikan diskresi khusus kepada Bupati Anambas untuk mengatur sistem penyaluran BBM di wilayah kepulauan.
“Kalau semua keputusan harus dari pusat, daerah seperti kami akan sulit berkembang. Mayoritas warga di sini menggantungkan hidup dari laut,” katanya.
Untuk sementara waktu, warga diminta membeli Pertalite langsung di Toko Enggan Tarempa dengan menunjukkan KTP. Setiap kendaraan hanya diperbolehkan membeli dua liter per hari, agar distribusi lebih merata.
“Harga resmi masih Rp10 ribu per liter di penyalur, tapi di pengecer bisa mencapai Rp12 ribu. Kami berharap kondisi ini tidak berlangsung lama,” ujarnya.
Meski 20 pengajuan awal ditolak, Yohanes memastikan Pemkab Anambas akan kembali mengajukan proposal baru yang menyesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan BPH Migas dan Pertamina. Masyarakat tidak bisa terus-menerus kesulitan mendapatkan bahan bakar, karena ini menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari,” tegasnya.